Alasan Melakukan Perlawan
Mengutip dari laman Kemdikbud Ristek, pada saat kepemimpinan Sultan Hasanuddin Kerajaan Gowa dikenal sebagai negara maritim dan menjadi pusat perdagangan di Indonesia bagian timur. VOC berusaha melakukan monopoli perdagangan atas Kerajaan Gowa.
VOC kerap melarang orang Makassar berlayar dan berdagang rempah-rempah. Hal ini menimbulkan gangguan kebebasan perdagangan terhadap rakyat Gowa.
Terkait hal ini, Sultan Hasanuddin melakukan perlawanan karena dia menentang keras mengenai hak monopoli yang hendak dijalankan oleh VOC. Belanda ingin memonopoli perdagangan di wilayah Makassar dengan cara yang licik dan membuat masyarakat sengsara.
Kerajaan Gowa memiliki pendirian bahwa, Tuhan Yang Maha kuasa telah menciptakan bumi dan lautan. Bumi telah dibagikan di antara manusia, begitu pula lautan telah diberikan untuk umum, tidak pernah terdengar bahwa pelayaran di lautan dilarang bagi seseorang. Jika Belanda melarang hal itu, maka berarti Belanda seolah-olah mengambil nasi dari mulut orang lain.
Dalam artian tuhan menciptakan bumi dan lautan untuk digunakan secara bersama oleh seluruh umat manusia, bukan hanya untuk VOC. Itulah sebabnya mengapa Kerajaan Gowa dengan keras menentang usaha monopoli VOC.
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
Sultan Hasanuddin merupakan salah satu pahlawan nasional asal Sulawesi Selatan. Ia merupakan Raja Gowa yang ke-16.
Dikutip dari laman Universitas Sains dan Teknologi Komputer (STEKOM) dijelaskan bahwa, Sultan Hasanuddin terlahir dengan nama Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape. Nama Sultan Hasanuddin sendiri di berikan pada saat dia menduduki tahta kerajaan Gowa.
Selain itu, ia juga dijuluki sebagai Ayam Jantan dari Timur. Julukan ini menggambarkan kegigihan dan keberaniannya dalam melawan Belanda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, pada tanggal 12 Januari 1631. Dia merupakan putra dari Raja Gowa ke-15, Sultan Malikussaid dan cucu dari Sultan Alauddin yang merupakan Raja Gowa pertama yang memeluk agama Islam.
Dilansir dari dalam laman Kemdikbud Ristek, Sultan Hasanuddin menjabat sebagai Raja Gowa di saat berusia 24 tahun (1655). Di Bawah kepemimpinannya Kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaan. Bahkan saat itu Gowa dikenal sebagai negara maritim dan menjadi pusat perdagangan di Indonesia bagian timur.
Selain itu, Kerajaan Gowa juga menjadi kekuatan politik yang unggul di Sulawesi Selatan. Tidak ada satupun kekuatan politik lokal yang mudah melakukannya.
Setelah 14 tahun Sultan Hasanuddin menjadi Raja Gowa, tahta kerajaan ia serahkan kepada putranya, Amir Hamzah. Sultan Hasanuddin wafat di usia 39 tahun karena menderita penyakit ari-ari.
Profil Sultan Hasanuddin
Asal Usul Julukan Ayam Jantan dari Timur
Sultan Hasanuddin dikenal sebagai sosok yang tegas, berani, dan pantang menyerah. Karena karakter inilah Sultan Hasanuddin mendapatkan julukan de Haav van de Osten yang berarti Ayam Jantan dari Timur. Julukan ini diberikan oleh pihak Belanda.
Actions (login required)
Murniah, Dad and Untoro, Setyo (2016) Ayam Jantan dari Timur. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta. ISBN 978-979-069-008-0
Actions (login required)
Perjuangan Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin memimpin Kerajaan Gowa pada saat ayahnya Sultan Malikussaid Raja Gowa ke-15 wafat. Kerajaan Gowa terletak di ujung selatan Pulau Sulawesi.
Di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin, Kerajaan Gowa mengalami masa kejayaan. Akan tetapi, para pembesar VOC di Jakarta merasa kepemimpinan Sultan Hasanuddin tidak seperti harapannya.
Jauh sebelum Sultan Hasanuddin menduduki tahta, Kerajaan Gowa dan VOC sering terjadi ketegangan yang disertai pertempuran. Kerajaan Gowa menentang keras hak monopoli yang hendak dijalankan oleh VOC.
Dilansir dari elibrary.unikom, di masa kepemimpinan Sultan Hasanuddin, dia tidak hanya melawan bangsa luar saja akan tetapi juga berperang melawan sesama bangsa sendiri. VOC berhasil menerapkan politik adu domba untuk memecahkan Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Bone, sehingga Kerajaan Bone memihak ke VOC.
Arung Palakka yang merupakan keturunan Kerajaan Bone melakukan perlawanan ke Kerajaan Gowa. Arung Palakka bersama orang-orang Bugis dari Bone melakukan pemberontakan kepada Gowa, kemudian dia bersama pengikutnya melarikan diri sembari meminta bantuan kepada VOC Belanda.
Kerajaan Gowa pun kembali diserang oleh VOC Belanda beserta sekutunya secara bertubi-tubi, hingga akhirnya Kesultanan Gowa terdesak dan semakin melemah. Arung Palakka dan VOC mengajukan usul cease fire kepada Sultan Hasanuddin.
Akibat peperangan yang berlarut-larut banyak korban dari pihak Gowa yang gugur, hal ini membuat Sultan Hasanuddin terpaksa menerima usulan tersebut. Maka pada 18 November 1667 Sultan Hasanuddin pun menandatangani perjanjian tersebut, demi nasib rakyat Kerajaan Gowa yang semakin menyedihkan.
Melanjutkan peperangan dalam kondisi yang melemah maka dapat mendatangkan kehancuran yang lebih besar bagi rakyat Gowa. Atas hal tersebut Sultan Hasanudin merasa lebih bijaksana untuk mengadakan perdamaian dengan Belanda, perdamaian ini dinamakan 'Perjanjian Bongaya'.
Akan tetapi ini bukan akhir perjuangan Sultan Hasanuddin, meski telah menandatangani perjanjian perdamaian tersebut, Karaeng Karunrung yang sangat membenci VOC terus mendesak Sultan Hasanuddin meneruskan peperangan dengan Belanda.
Pada 12 April 1668 peperangan kembali pecah, Sultan Hasanuddin memimpin Gowa dan Speelman memimpin pasukan VOC. Pertempuran ini jauh lebih dahsyat dibandingkan sebelumnya.
Sultan Hasanuddin menggunakan peluru beracun, sehingga pasukan VOC mengalami luka-luka. Speelman yang dianggap gagah berani merasa cemas dan jengkel, dia kemudian meminta kepada pimpinan VOC di Batavia untuk mengirimkan bantuan yang cukup untuk melawan Kerajaan Gowa.
Setelah mendapatkan bantuan, Speelman bersama pasukan merasa lebih kuat. Belanda pun melakukan serangan secara bertubi-tubi hingga benteng utama Kerajaan Gowa jatuh ke tangan Belanda.
Meski ditaklukan, Benteng Somba Opu jatuh dengan terhormat setelah pejuang-pejuang Gowa di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan yang begitu gigih.
Nama Sultan Hasanuddin Diabadikan
Berkat kegigihan Sultan Hasanuddin mempertahankan kehormatan negerinya, dia diberi gelar Pahlawan Nasional. Dia angkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 6 November 1973 No. 887/TK/Tahun 1973.
Untuk menghargai dan mengenang keberaniannya, nama Sultan Hasanuddin diabadikan sebagai nama-nama fasitas umum hingga universitas di Sulawesi Selatan. Diantaranya Universitas Hasanuddin, Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, Kodam XIV/Hasanuddin, KRI Sultan Hasanuddin, dan nama jalan di berbagai daerah di Sulawesi Selatan.
(Seri Publikasi Koleksi Museum Perjuangan Yogyakarta)
Terlahir dengan nama I Malambasi, sosok ini kemudian bergelar Sultan Hasanudin. Sementara, Balanda menjulukinya de Haav van de Osten alias Ayam Jantan dari Timur karena kegigihan dan keberaniannya. Ia lahir pada tanggal 12 Januari 1631, dan naik tahta menjadi Raja Gowa (Makassar) ke 16 pada usia 24 tahun (1655) menggantikan ayahnya Sultan Muhammad Said.
Zaman pemerintahan Sultan Hasanudin merupakan puncak kejayaan Kerajaan Gowa sehingga dikenal sebagai negara maritim yang menjadi pusat perdagangan di Indonesia bagian timur karena lokasinya yang sangat strategis, yakni terletak di tengah-tengah lalu lintas pelayaran dan perdagangan yang ramai antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Selain itu, kerajaan Gowa menjadi kekuatan politik yang unggul di Sulawesi Selatan. Tidak ada satu pun kekuatan politik lokal yang mudah menaklukaannya. Kerajaan ini sangat kuat, kapal dagang dan duta yang datang ke Makassar bersaksi atas kebesarannya (Andaya, 2004:55-56).
Ditengah kuatnya hegemoni Kerajaan Gowa di daerah Sulawesi Selatan dan sekitarnya, bahkan di seluruh Indonesia bagian timur, pada saat yang bersamaan, kerajaan itu juga mendapatkan ancaman yang bertubi-tubi dari orang Bugis dibawah pimpinan Aru Palaka yang kemudian bekerjasama dengan penjajah Belanda (VOC). Terkait ketegangan yang terjadi antara Kerajaan Gowa dengan VOC, sesungguhnya telah berlangsung jauh sebelum Sultan Hasanudin bertahta karena, VOC yang dihinggapi demam rempah-rempah kerap melarang orang Makassar berlayar dan berdagang (mengkulak) rempah-rempah di kepulauan Maluku yang merupakan penghasil rempah-rempah untuk dijual kembali ke Gowa yang merupakan pusat perdagangan. Sultan Hasanuddin, seperti juga pendahulunya, menentang keras segala upaya monopoli di laut dan perdagangan
Terhadap hak monopoli yang hendak di jalankan VOC tersebut, Kerajaan Gowa berpendirian: “Tuhan Yang Maha Kuasa telah menciptakan bumi dan lautan. Bumi telah dibagikan diantara manusia, begitu pula lautan telah diberikan untuk umum, bukan hanya untuk VOC atau orang-orang Belanda. Tidak pernah terdengar bahwa pelayaran di lautan dilarang bagi seseorang. Jika Belanda melarang hal itu maka Belanda seolah-olah mengambil nasi dari mulut orang lain. Demikianlah pendirian dari Sultan Hasanudin serta para pendahulunya, yakni Sultan Muhammad Said dan Sultan Alaudin. Itulah sebabnya mengapa kerajaan Gowa dengan keras menentang usaha monopoli VOC. Sebaliknya, VOC berusaha keras untuk menghancurkan dan menyingkirkan kerajaan Gowa (Sagimun, 1985:71)
Puncak pertentangan kerajaan Gowa dengan VOC ditandai dengan meletusnya Perang Makassar pada tahun 1666. Dengan menjalankan Politik Devide et Impera, VOC mendekati daerah yang ingin memberontak untuk dijadikan sekutu agar tidak banyak korban yang jatuh dari pihak VOC. Maka dihimpunlah suatu pasukan ekspedisi yang terdiri atas 21 kapal yang mengangkut 600 orang tentara berkebangsaan Eropa, serdadu Ambon, dan Arung Palaka beserta pasukan Bugisnya. Panglima armada tersebut adalah Cornelis Speelman yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal. Peperangan ini terjadi di darat maupun dilaut yang memakan waktu hampir satu tahun lamanya. (Ricklefs : 133)
VOC beserta sekutu-sekutunya keluar sebagai pemenang dalam pertempuran tersebut, kemudian Sultan Hasanudin dipaksa tunduk dalam Perjanjian Bungaya ( 18 November 1667). Namun Sang Ayam Jantan dari Timur dengan tegas menolak melaksanakan isi perjanjian Bungaya dan kembali melakukan perlawanan, hingga mendapatkan serangan besar-besaran dari VOC dan sekutu-sekutunya sejak bulan April 1668 hingga Juni 1669. Pasukan Sultan Hasanudin kalah dalam pertempuran tersebut sehingga perjanjian Bungaya terpaksa harus dilaksanakan. Perjanjian ini menimbulkan perubahan politik besar-besaran di Sulawesi Selatan. Kerajaan Gowa dipersempit kekuasaannya, sedangkan Bone dan Bugis terbebas dari kekuasaan kerajaan Gowa. Benteng yang berada di Ujung Pandang diserahkan kepada VOC, dan diberi nama baru ‘Rotterdeam’ yang diambil dari nama tempat kelahiran Cornelis Speelman.
Benteng Sombaopu jatuh ke tangan VOC pada 24 Juni 1669. Benteng kebanggaan kerajaan Gowa yang menjadi saksi bisu kegigihan Sultan Hasanudin dan pasukannya melawan kesewenang-wenangan penjajah ini kemudian dihancurkan sampai rata dengan tanah oleh orang-orang Belanda. Karena tebal dan kokohnya dinding tembok yang melingkari benteng Kerajaan Gowa ini, Belanda menggunakan beribu-ribu pon mesiu untuk meledakkannya. (Sagimun, 1985: 428)
Lima hari setelah Benteng Sombaopu jatuh ke tangan VOC, Sultan Hasanudin mengundurkan diri dari tahta kerajaan. Ia menyerahkan tahta pada putranya I Mappasomba Daeng Nguraga (Sultan Amir Hamzah) yang saat itu berusia 13 tahun. Setahun setelahnya, Sultan Hasanudin meninggal dunia pada usia 39 tahun. Berkat kegigihannya mempertahankan kehormatan negerinya, Gelar Pahlawan Nasional disematkan pada Sultan Hasanudin yang diteguhkan dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 6 November 1973 No. 887/TK/Tahun 1973. Relief patung Sultan Hasanudin, salah satunya bisa kita jumpai berjajar bersama dengan Pahlawan Nasional lainnya di Museum Perjuangan Yogyakarta.
Penulis: Lilik Purwanti (Pamong Budaya Pertama Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta)
Murniah, Dad (2010) Ayam Jantan Dari Timur. Pusat Bahasa, Jakarta. ISBN 978-979-069-045-5